Bersepeda BMX ke Kantor, Siapa Niat?



Pada sebuah perhentian lampu merah Bypass, saya bertemu dengan seorang muda dengan sepeda BMX-nya. Saya pikir dia hanya melancong ke tempat kawan yang dekat-dekat saja, tidak seperti saya yang bersepeda ke tempat kerja. Seperti biasa saya luangkan waktu untuk ngobrol bila bertemu dengan sesama pesepeda maupun tukang gorengan bergerobak. Sungguh terkejut ketika dia katakan rute gowesnya dari Pondok Kopi ke daerah perkantoran Kuningan!

Melihat rute bersepedanya saja sudah cukup jauh. Tapi masalahnya ini dilakoninya dengan BMX yang bila digowes dengkulnya bisa nyentuh perut! Yang saya salut adalah semangatnya yang luar biasa. Rute ini dilaluinya dengan riang gembira sambil memasang headset di telinganya, mendengarkan musik :)

Penasaran dengan gaya gowesnya, saya tunggu sampai lampu berganti hijau. Seperti yang sudah diduga, untuk melintas dengan cepat di sebuah simpang lampu merah, dia langsung genjot sambil berdiri. Ini dilakukan buat melahap jalanan yang sedikit menanjak untuk masuk ke Utan Kayu, namun untuk model BMX tentu bukan perkara mudah.

Kami terus ngobrol sampai Pramuka, karena dia kemudian mengambil jalur cepat untuk kemudian masuk kolong. Jalur yang cukup berbahaya karena bertemu dengan mesin-mesin beroda empat. Bukan itu saja, yang namanya terowongan, pasti ada turunan dan kemudian...ya, tanjakan yang aduhai. Saya bilang aduhai karena dilalui dengan BMX yang hanya bermodalkan satu gir saja.

Sebagai catatan, BMX yang ditunggangi sangat sederhana, tidak ada upgrade komponen di sana-sini. Jadi memang benar apa kata orang bijak, bersepeda itu didorong oleh niat, tidak peduli apakah sepeda kita itu murah atau mahal. Selain itu, menemani pesepeda di jalan raya yang tak ramah walau hanya sesaat, terasa hangat karena adanya rasa kebersamaan antar sesama pesepeda :) (raymond, unite-indonesia.blogspot.com)

Foto: http://anakbmxcomunity.blogspot.com/

lanjut baca..

Fun Bike dan Real Estate Perusak Alam


Suatu kali saya menawarkan event funbike keliling kota ke seorang kawan. Saya bilang event funbike ini gratis, jadi membernya pun gratis pula. Sekali mendaftar, akan secara otomatis mendapat nomor keanggotaan. Kemudian menawarkan berbagai macam fasilitas dan kemudahan. Pendaftarannya pun bisa dilakukan secara online di internet. Tak ada batasan pula dalam mendaftar sebagai member, bisa sebanyak mungkin orang.

Dalam setiap eventnya pun mendapatkan snack dan minuman secara lagi-lagi gratis. Seperti event funbike lainnya, juga digelar doorprize seperti televisi, sepeda lipat dan sepeda MTB buatan Swiss.

Lalu apa pasal penolakan kawan saya? Katanya penyelenggaranya adalah perusahaan real estate yang sudah 30-an tahun didirikan ini ternyata merusak lingkungan. Lihat saja pembangunan mall, apartemen, perkantoran dan perumahan yang dilakukan telah menghilangkan daerah resapan air di Jakarta.

Salah satu area yang dibangun berada di bagian utara Jakarta yang telah jadi kawasan elite. Dahulunya daerah ini adalah rawa-rawa yang sebelumnya menjadi tempat parkir air. Tapi kini daerah itu tidak ada lagi karena telah disulap jadi perumahan dan mall. Maka tidaklah heran bila Jakarta menjadi langganan banjir karena pembangunan yang tidak bersahabat dengan alam.

Pembangunan skala besar ini juga menggusur ruang terbuka hijau dan menjadikan Jakarta jadi gersang, tidak bisa menyerap polusi dari kendaraan bermotor. Paru-paru kota menjadi bolong, membuat warganya jadi sesak untuk bernafas perlahan namun pasti. Ini bisa dilihat dari kualitas udara di ibukota yang semakin buruk setiap tahunnya.

Mall dan perkantoran yang dibangun juga telah menyedot air tanah di luar batas per harinya. Ini penyebab habisnya air tanah di Jakarta, yang kemudian jadi penyebab amblasnya permukaan tanah. Bila sudah demikian, air laut semakin masuk lebih jauh lagi tidak hanya samapi di tengah kota, bahkan akan sampai kawasan selatan Jakarta. Air tanah akan jadi asin dan tidak layak untuk dikonsumsi. Yang lebih parah lagi, Jakarta akan tenggelam lambat laun karena datarannya semakin rendah dan semakin sulit pembuangan air ke laut.

Seandainya, perusahaan pengembang properti ini menyediakan sepeda gratis juga bagi para peserta funbike, memberikan perumahan bagi korban banjir, mewajibkan pegawainya bersepeda (termasuk direkturnya) setiap hari, apakah kiranya kawan saya ini akan berubah pikiran? (raymond, unite-indonesia.blogspot.com)

Foto: inilah.com/Agung Rajasa

lanjut baca..

Rumah Ibadah yang Tidak Sekedar


Adalah sebuah rumah ibadah yang dibangun oleh umatnya. Dia tidak sekedar tempat ibadah untuk mengungkap syukur kepada Tuhannya. Bukan pula sekedar melantunkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Namun juga direkayasa sesadar-sadarnya sebagai teras pertemuan antar umat yang biasa berdatangan pada masa ibadah.

Menjadi sebuah kebiasaan di antara mereka untuk meluangkan waktu bersama setelah beribadah. Para umat bisa saling bertukar sapa dan menanyakan kabar. Mereka menjadi tahu bila ada orang baru yang pertama kali datang ke tempat ini. Sudah barang tentu kedatangan seorang warga mendapat sambutan hangat seperti menyambut lahirnya seorang anggota keluarga baru.

Mereka jadi saling tahu bila ada yang sedang sakit atau bila ada yang sedang berduka. Dari kabar duka ini, mereka bisa menawarkan bantuan apa yang sekiranya dapat meringankan. Karena seperti sebuah ungkapan, ”Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Rasa kebersamaan yang terjalin akan memberi semangat baru bagi yang sedang dirundung duka. Semangat ini yang kemudian akan mengangkatnya dari sebuah kemuraman untuk kembali hidup, melangkahi jalur masa di depannya.

Amat disayangkan bila ada yang tidak bisa menyempatkan diri untuk datang ke rumah pertemuan ini, karena pastilah ada kabar yang terlewat tentang tetangganya yang biasa beribadah. Berita suka cita mungkin akan terlewat begitu saja, atau mungkin bukan menjadi orang pertama yang tahu. Kabar tentang sebuah kelahiran adalah sesuatu yang istimewa karena ada sebuah harapan baru di dalamnya. Sebuah harapan yang harus dirawat agar bertumbuh baik bagi orang-orang di sekelilingnya.

Lambat laun, rumah ibadah ini melampaui apa yang dibayangkan banyak orang. Ia tidak lagi sekedar tempat untuk beribadah, tapi juga menampung para pengungsi ketika terjadi bencana alam. Para pengungsi ini berasal dari berbagai latar belakang aliran keyakinan dan kepercayaan. Rumah ini tidak mempedulikan beragam latar para pencari tempat berteduh dari panas dan hujan ini. Karena rumah ini sangat mencintai kehidupan. Menyelamatkan dan merawat kehidupan menjadi tugas mulia dari rumah buatan tangan manusia ini.

Dalam kondisi yang serba darurat ini, semua orang berbicara tentang kehidupan. Karena sebagaimana halnya manusia yang menjadi mahluk sosial, dia membutuhkan uluran tangan orang lain. Solidaritas yang terbangun antar beragamnya keyakinan itulah yang membuat masyarakat itu tetap ada. Memasak di dapur umum bagi makan siang mereka yang beragam kepercayaan, bergotong-royong membangun rumah para pengungsi, menjadi sebuah hal yang biasa. Hingga akhirnya semua dapat kembali ke rumah masing-masing dan menjalani hari-harinya seperti sediakala.

Rumah ibadah ini adalah rumah yang biasa-biasa saja. Tidak bersepuh emas, temboknya terbuat dari bambu agar tahan goncangan gempa. Lantainya terbuat dari kayu, berupa rumah panggung. Atapnya dilapis oleh lembaran daun kering pohon kelapa. Dia terbentuk dari alam yang ada di sekitarnya. Tidak perlu teknologi yang super canggih dan sarat bahan impor yang mahal. Yang diperlukan hanyalah kearifan para pembuatnya dan kesadaran akan keberadaannya untuk menyatu dengan tanah bumi ini.

Rumah panggung ini memilih untuk berpihak pada kehidupan. Kehidupan yang dijalani oleh para penganutnya. Kehidupan yang juga dijalani oleh mereka yang berlatar ragam keyakinan dan kepercayaan. Karena demikianlah adanya kehidupan, berjalan bersama dengan keberagaman yang dikandungnya. (raymond, unite-indonesia.blogspot.com)

Foto: lawangarepstudio.com

lanjut baca..

TKI asal Lumajang Meninggal di Rumah Sakit Koja

Slamet adalah TKI asal Lumajang. Laki-laki yang berusia 48 tahun ini dideportasi dari Malaysia bersama dengan 800 buruh migran lainnya pada tanggal 2 September 2010. Dari Malaysia dia dibawa ke Tanjung Pinang. Dari sana kemudian dilanjutkan dengan kapal penumpang KM Ciremai untuk tujuan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Rencananya ia akan diturunkan di Surabaya. Namun karena kondisi tubuhnya yang sakit, akhirnya ia diturunkan di Jakarta bersama 311 buruh migran.

Sesampai di Pelabuhan Tanjung Priok, ia diturunkan dengan menggunakan tandu dari kapal menuju ruang kedatangan TKI deportasi. Melihat kondisi tubuhnya yang sangat lemah dan tidak bisa berjalan, petugas KKP Tanjung Priok langsung merujuknya ke RSUD Koja, Jakarta Utara dengan didampingi Lily Pujiati dari Peduli Buruh Migran. Peduli Buruh Migran adalah sebuah LSM yang menaruh perhatian pada persoalan kesehatan TKI dan juga bagian dari Satgas Nasional Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PTKIB).

Di rumah sakit, Slamet langsung mendapatkan perawatan di ruang IGD. Dari pengukuran tensi darah, didapati bahwa tekanan darahnya sangat tinggi. Tak berapa lama setelah mendapatkan penanganan medis dari para dokter dan perawat, Slamet akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Menurut keterangan dokter, sakit stroke yang dideritanya menjadi penyebab kematian.

Persoalan baru kemudian muncul. Buruh migran ini ternyata tidak meninggalkan surat keterangan identitas apapun. Seperti diketahui bersama, TKI yang dideportasi tidak membawa data diri apapun karena semua dokumen dirampas oleh majikan selama bekerja di Malaysia.

Lily kemudian berusaha melacak keberadaan keluarganya. Karena selama perjalanan dari pelabuhan hingga rumah sakit, tidak ada informasi apapun yang bisa diperoleh karena korban deportasi ini sudah tidak bisa berkata sepatah katapun. Setelah menanyakan info dari kawan-kawan seperjalanannya sewaktu di atas kapal, akhirnya diperoleh keterangan singkat, Lumajang dan Klanting dekat mesjid.

Pencarian alamat ini kemudian berlanjut. Dengan bermodalkan keterangan singkat tadi, Lily lalu menghubungi A'ak Abdullah Al Kudus dari Laskar Hijau, Lumajang, agar membantu mencarikan alamat keluarganya. Laskar Hijau adalah organisasi yang bergerak dalam konservasi alam di daerah Lumajang melalui penanaman pohon di hutan-hutan gundul dan selain itu juga peduli pada persoalan buruh migran.

Akhirnya kabar kepastian tentang keluarganya ditemukan juga. Kira-kira pukul tujuh malam, A'ak mengabarkan kabar baik bahwa keluarga buruh migran telah ditemukan. Dalam komunikasinya dengan pihak keluarga, A'ak menerangkan bahwa biaya perawatan dan pemulangan jenasah sudah ditanggung Kemenkes dan Kemensos. Sehingga pihak keluarga tidak perlu lagi memikirkan biaya-biaya tersebut.

Pagi ini Lily akan mengurus biaya pemulangan ke Kemensos. Dan bila segala sesuatunya lancar, dengan didampingi pihak Peduli Buruh Migran, hari ini rencananya jenasah TKI akan dipulangkan ke alamat adik Slamet yang bernama, Rohmah dan Jumali yang beralamat di Jalan Wilis, Desa Klanting Kidul, RT 02/RW 02, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur juga sudah berkomitmen untuk menjemput jenasah di Bandara Juanda menuju rumah keluarga almarhum.

Kasus yang terjadi kali ini kembali menunjukkan bahwa pemerintah masih tidak serius mengurusi para pahlawan devisa, terutama masalah kesehatannya. Seharusnya Satgas PTKIB di Tanjung Pinang dapat memantau kondisi Slamet yang sedang sakit dan kemudian merawatnya terlebih dahulu sebelum dipulangkan ke daerah asal.

Menurut Lily, kondisi buruh migran dapat menjadi lebih baik bila pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 sebagai landasan hukum bagi peraturan nasional seperti UU 39/2004 dan RUU PRT untuk memberikan perlindungan secara konsisten bagi buruh migran. Dan yang terpenting adalah lapangan kerja yang harus disediakan negara bagi rakyatnya, ketimbang mengekspor TKI untuk diambil devisanya.

(ray, peduliburuhmigran.blogspot.com)

lanjut baca..

Buruh Migran Tervonis Hukuman Mati Datangi SBY

Buruh migran yang divonis hukuman mati, kemarin mendatangi SBY di Istananya. Mereka berjalan memakai kain panjang dan muka tertutup kain hitam. Ada yang leher dan tangannya dirantai, ada pula yang dikalungi dan ditarik tali tambang oleh sang majikan. Sementara itu algojo berjubah hitam dengan kejam menempelkan pedang di leher, siap memenggal salah satu di antara mereka.

Ini bukanlah kejadian sebenarnya. Aksi yang digelar petang kemarin (27/8) adalah bentuk teaterikal yang dibawakan oleh para buruh migran dan aktivis pendukungnya. Mereka tergabung dalam ARRAK 90 (Aliansi Rakyat untuk Ratifikasi Konvensi Migran tahun 1990) dan aktivis lainnya seperti dari Imparsial, Jala PRT, KontraS, PBHI Jakarta. Dengan berbaju hitam, para demonstran menuntut agar Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia melindungi buruh migran dari hukuman mati dengan segera meratifikasi Konvensi Migran 1990.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Migran 1990 pada enam tahun yang silam. Namun hingga kini, pemerintah masih menelantarkan Konvensi Migran tersebut. Akibatnya banyak terjadi kasus penyiksaan dan kematian buruh migran Indonesia yang dikarenakan tidak adanya perlindungan dari negara. Dengan tidak segera meratifikasi Konvensi Migran tersebut, pemerintah Indonesia tidak mempunyai kekuatan diplomasi dalam membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding-Mou).

Dalam aksi ini para demonstran menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro buruh migran. Serta segera merevisi UU 39/2004 yang isinya benar-benar berpihak pada buruh migran, karena UU 39/2004 saat ini lebih berpihak kepada pengusaha (PPTKIS). Demikian juga halnya dengan RUU PRT (Pekerja Rumah Tangga), untuk segera disahkan menjadi undang-undang yang isinya mencerminkan hak-hak pekerja rumah tangga domestik maupun yang bekerja di luar negeri.

Nasionalisme yang belakangan hari ini didengungkan pemerintah, seharusnya bisa dibuktikan dengan memberikan perlindungan bagi buruh migran sejak pra sampai purna kerja. Di manapun mereka berada, pemerintah seharusnya tidak lagi mengabaikan hak-hak asasi manusia yang terlekat pada anak-anak bangsa yang dijuluki sebagai pahlawan devisa. (ray, unite-indonesia.blogspot.com)

lanjut baca..

Tenganan Pegringsingan, Masyarakat Tanpa Kelas


“Bila dahulu kita dijajah dengan bedil, sekarang otak kita dijajah globalisasi!” Kata-kata itu terlontar dari ucapan Pak Sadra ketika saya ekowisata ke Desa Adat Tenganan Pegringsingan.

Desa Adat Tenganan Pegringsingan terletak di Karangasem, Bali. Berjarak sekitar tiga jam dari ibukota Bali, Denpasar. Dalam perjalanan menyusuri pantai, anda akan disuguhkan oleh jalan berbelok, kanan dan kiri. Jalan meliuk-liuk ini bukan karena sedang melintasi daerah perbukitan, tapi karena di sepanjang jalan sedang ada proyek pengaspalan jalan raya. Cukup membuat bosan dan butuh kesabaran karena membuat perjalanan menjadi lama.

Kain Gringsing

Desa ini terkenal dengan kain bernama Gringsing yang harganya selangit. Proses pewarnaannya yang memakan waktu bertahun-tahun, melambungkan harga kain itu sendiri. Terdapat tiga warna yang dominan dalam setiap helai kainnya: merah, kuning atau putih dan hitam. Warna merah didapat dari kulit akar mengkudu, kuning dari kemiri dan hitam dari sejenis semak. Gringsing berasal dari kata gring yang berarti sakit dan sing yang artinya tidak.

Kain ini mempunyai makna yang terkait dengan unsur-unsur yang terkandung di alam semesta. Warna kuning melambangkan unsur udara. Warna merah mewakili unsur api. Warna hitam berarti air. Bila ketiga unsur alam ini ada salah satu yang terganggu maka tubuh manusia akan sakit. Ini artinya manusia tidak terlepas dari alam di sekitarnya. Bila tidak dijaga dan sampai rusak, alam akan hancur seiring dengan manusia yang tinggal di dalamnya.

Menolak Retribusi

Ketika masanya Tenganan Pegringsingan menjadi daya tarik wisata, Pemerintah Daerah Karangasem tiba-tiba memungut restribusi dan memasang papan pengumuman di pintu masuk desa adat. Pungutan liar di jaman Orde Barunya Soeharto itu kemudian langsung ditolak karena tanpa seijin masyarakat sebagai pemilik tanah dan lokasi wisata. Karcis yang sedianya diberlakukan untuk pengunjung kemudian disobek-sobek dan papan pengumuman dicopot dari tempatnya.

Ketika waktunya tiba saat setoran retribusi ke pemda, kepala desa mendapat surat untuk segera mengirimkan hasil penjualan karcis untuk kas daerah. Suratpun dibalas dengan surat yang menyatakan bahwa masyarakat tidak bisa menerima kebijakan sepihak seperti itu. Tak puas dengan jawaban surat, akhirnya pemda memanggil kepala desa ke kota. Di sana, pemda menanyakan kembali soal retribusi tersebut.

Pertanyaan demi pertanyaan dijawab dengan sederhana. Penerapan karcis kepada setiap pengunjung ditolak oleh masyarakat karena sejak dahulu memang tidak pernah ada pungutan bagi wisatawan. Lalu soal retribusi yang katanya berdasarka peraturan daerah, dijawab dengan pertanyaan, “Apa yang sudah pemda taruh di desa?” Kehabisan akal, pemda menyatakan bahwa persoalan ini akan dibahas dalam rapat yang akan datang. Hingga saat ini, rapat itu tidak pernah ada karena gigihnya penolakan masyarakat atas intervensi pemerintah yang hanya memikirkan soal uang.

Masyarakat Tanpa Kelas

Masyarakat desa mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan budaya masyarakat Bali pada umumnya. Arti perayaan Nyepi bagi mereka adalah tidak menimbulkan suara yang gaduh. Maknanya adalah untuk mengingatkan mereka akan keheningan sebagai waktu untuk berefleksi diri. Seperti hari biasa, mereka tetap menjalankan kegiatan di saat Nyepi: memasak, menenun Gringsing, berjualan, berkebun. Keragaman budaya ini justru dihormati oleh masyarakat Bali yang sedang menjalankan Nyepi di luar desa adat. Ini adalah bentuk toleransi masyarakat Bali dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika di kepulauan Nusantara dalam keseharian mereka.

Keunikan desa ini adalah tidak mengenal istilah kasta alias masyarakat tanpa kelas. Nenek moyang mereka menganut kepercayaan Dewa Indra yang dipengaruhi oleh Majapahit dan Hindu. Setiap jengkal tanah di desa ini adalah tanah milik desa, mulai dari pemukiman, hutan, kebun dan sawah. Status kepemilikan tanah adalah milik bersama, komunal. Kepemilikan pribadi dilarang di desa ini. Semua lahan yang ada digunakan untuk kepentingan bersama dan dikelola masyarakat. Masyarakat hidup dalam suasana egaliter.

Rumah sudah disediakan bagi para pasangan yang baru saja menikah. Mereka diberi tenggat tiga bulan untuk hidup mandiri dan lepas dari orang tuanya. Kemudian mereka memilih lahan untuk dibangun rumah dengan memberitahukan ke kepala desa. Saat itu juga lahan pilihan mereka secara sah sudah menjadi sebuah tempat tinggal keluarga baru di desa adat.

Kebun dan lahan yang ada diolah bersama dengan pembagian 1:1 antara pemilik pohon atau kebun dengan pihak yang merawatnya. Keserakahan yang merusak hubungan sosial sangat ditentang dengan adanya aturan bagi hasil seperti ini. Hasil dari pohon, misalkan buah, tidak dengan sendirinya menjadi hak si pemilik pohon. Namun yang dapat menikmati buah tersebut adalah orang yang menunggui buah saat jatuh di bawah pohon itu. Aturan ini bermakna untuk mengingatkan pemilik pohon agar berbagi dengan orang yang membutuhkan, bukan semata dinikmati sendiri.

Kearifan Lokal

Tentang pola kepemilikan atas tanah seperti inilah yang membuat desa adat tidak tergerus oleh tangan-tangan luar. Privatisasi oleh orang asing menjadi sesuatu yang haram di dalam desa adat. Kerusakan alam akibat eksploitasi alam yang mengakibatkan bencana, terhindar dengan adanya kearifan lokal. Di desa adat ini, hutan tidak bisa dijual kepada korporasi yang selama ini telah terbukti menggundulkan hutan dan mengeruk tanah ratusan meter dalamnya, seperti yang dilakukan Freeport. Tanah masyarakat desa adat tidak bisa ditenggelamkan akibat kesalahan penambangan seperti yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga kini.

Bencana “alam” yang sesungguhnya ditimbulkan oleh tangan manusia sendiri, semestinya dapat dihindari bila manusia mau berkaca dari alam. Adalah tepat bila Gandhi pernah berujar bahwa bumi ini cukup untuk menghidupi manusia yang tinggal di dalamnya, tapi bukan untuk keserakahan satu manusia.

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanahkan bahwa bumi, air, tanah dan kekayaan alam digunakan sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Seorang Belanda menulis dalam bukunya bahwa Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah sebuah republik yang memiliki aturan sendiri dalam mengelola alamnya. Sangat miris bila kita menyadari bahwa orang luarlah yang justru menggali kearifan lokal bagi kita yang sesungguhnya ada di dalam diri kita sendiri! (raymond, unite-indonesia.blogspot.com)

Foto: Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK)
lanjut baca..

Sepatu Lionel Messi di kaki buruh pabrik Adidas


Saya bermimpi bila sepatu Lionel Messi yang dipakai di Piala Dunia 2010, suatu saat dapat juga dipakai oleh buruh pabrik yang memproduksi sepatu-sepatu berlabel Adidas. Terbayang buruh-buruh menggocek bola dengan sepatu Adidas F50 adiZero pada saat pertandingan sepakbola antar kampung. Bila melihat harganya, tampaknya mimpi tinggallah mimpi. Harganya yang nyaris 2 juta rupiah sepasangnya, tak sebanding dengan upah buruh yang sebulannya hanya 1 juta rupiah. Jadi, bila dihitung-hitung untuk bisa memakai sepatu sang superstar, seorang buruh harus bekerja 2 bulan namanya.

Adidas adalah pemegang merek produk olahraga terkenal yang menyediakan kebutuhan para pemain bola ternama dunia. Mulai dari baju, celana, kaos kaki, sepatu, sarung tangan hingga bola sepak. Untuk urusan Piala Dunia, Adidas memasok bola sepaknya sejak tahun 1970 hingga sekarang secara berturut-turut.

Tak ketinggalan pula para pemain bola dimanjanya dengan sepatu super ringan yang saat ini dipakai Messi, sang pujaan pendukung tim Argentina. Adidas berhak melihat Messi memakai sepatu yang beratnya hanya 165 gram ini dengan nilai kontrak yang fantastis, 3 juta euro per tahunnya.

Sepak terjang Adidas di Indonesia

Adidas memang mendunia namanya, termasuk di Indonesia. Ketenarannya mencuat sejak tahun 1999, ketika salah satu pabriknya di Indonesia, PT. Panarub memecat para buruhnya terkait dengan aktivitas mereka di serikat buruh. Namun PHK sepihak ini tidak menciutkan nyali kaum buruh dan terbukti pada tahun berikutnya demonstrasi terus berlangsung, walau segala bentuk kekerasan harus dihadapi para pekerja.

Tahun 2001, kesewenangan pabrik sepatu ini berlanjut dengan dipenjarakannya seorang buruh perempuan yang bernama Ngadinah. Ia dituntut atas demonstrasi setahun sebelumnya ketika 8.000 buruh berunjuk rasa untuk menuntut hak-hak mereka yang dilanggar. Pihak perusahaan ternyata sudah lama mengincar dan mencari-cari kesalahan lalu menghukumnya untuk menimbulkan efek jera bagi buruh lainnya. Namun cara ini tidak memadamkan gejolak buruh-buruh Panarub dalam memperjuangkan haknya.

Apa yang dituntut kaum buruh pada saat itu adalah hak-hak mereka yang dirampas demi keuntungan perusahaan pada setiap sepatu yang diproduksi. Hak cuti haid yang semestinya diberikan dan diatur dalam undang-undang, dilanggar oleh perusahaan. Begitu pula dengan upah lembur yang tidak dibayar ketika buruh bekerja lebih lama dari waktu kerja normal atau ketika bekerja pada saat hari libur.

Mereka juga menuntut makanan tambahan yang lebih layak dari yang sebelumnya hanya roti, menjadi nasi. Tunjangan kesehatan keluarga juga masuk dalam daftar tuntutan karena mereka juga harus menanggung keluarganya ketika sakit dengan biaya berobat yang tidak bersahabat dengan kantong buruh.

Setelah kejadian demo besar-besaran dan adanya buruh yang dikriminalkan dengan dimasukkan ke dalam penjara, pihak Adidas kemudian bersuara dengan menyatakan keprihatinannya dengan kondisi tersebut. Apa yang terjadi dengan Ngadinah sama sekali di luar jangkauan mereka, walau harapannya dapat segera dibebaskan. Mereka juga berkomitmen untuk menghargai kebebasan buruh untuk berserikat dan melakukan perundingan secara kolektif. Namun fakta yang terjadi hanya sebatas di atas kertas dan terbukti bahwa Adidas tidak melakukan pemantauan ketat terhadap pabrik-pabrik pemasok sepatu mereka.

Apa yang diperjuangkan Ngadinah bukan untuk pribadinya, melainkan demi kepentingan kawan-kawan buruh di pabriknya serta buruh di Indonesia untuk mendapatkan haknya. Setelah sempat mendekam di dalam penjara selama dua minggu, akhirnya Ngadinah dibebaskan. Pemberangusan suara kaum buruh perempuan sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada masa Orde Baru, rejim otoriter Soeharto bertanggung jawab atas kematian Marsinah pada tahun 1993, buruh perempuan yang berjuang untuk kenaikan upah buruh.

Tiga tahun berselang, kembali PT. Panarub mendapat sorotan atas apa yang terjadi di dalam pabriknya. Dari temuan investigasi, didapatkan bahwa buruh berada dalam kondisi kerja yang berdampak buruk bagi kesehatan mereka. Mereka secara terus-menerus terpapar oleh bau menyengat karet panas. Demikian juga halnya bagi keselamatan mereka karena mesin yang memproduksi lem panas telah mengakibatkan luka bakar pada tangan buruh yang mengerjakannya. Kembali Adidas datang terlambat menanggapi kasus ini dan menjadi bukti bahwa mereka absen atas pemantauan dan komitmen sebelumnya.

Tahun 2005 lagi-lagi pabrik penyuplai sepatu Adidas ini melakukan PHK atas 33 orang buruhnya. Mereka dipecat karena melakukan pemogokan untuk menuntut kenaikan bonus tahunan. Dari hasil temuan Komnas HAM atas kasus ini, dinyatakan bahwa pihak perusahaan tidak memiliki alasan kuat untuk memecat buruh. Untuk itu perusahaan harus mempekerjakan mereka kembali tanpa syarat.

Namun apa yang kemudian dilakukan Adidas justru mengancam keberlangsungan kerja para pekerjanya dengan pernyataan akan menghentikan pasokan dari pabrik tersebut. Setelah mendapatkan ketidakpastian selama setahun lebih, buruh-buruh yang dipecat dengan tidak adil itu hanya menerima sejumlah kecil uang pesangon yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Belum cukup dengan 33 buruh yang dipecat, Adidas melakukan PHK massal dengan membiarkan ditutupnya pabrik Spotec dan Dong Joe di tahun 2006 sebagai pemasok sepatu mereka. Adidas tutup mata dengan 10.500 buruh yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan ini. Setelah mendapatkan protes dan tekanan, baru 3 tahun kemudian Adidas kembali membuka pabrik baru yang bernama Ching Luh Indonesia (CLI). Di sana Adidas meneteskan komitmennya dengan mempekerjakan 1.450 buruh yang dahulunya adalah buruh Spotec.

Hingga malam ini, di saat Adidas memperoleh begitu banyak profit dengan melekatkan mereknya di kaki Messi, nasib ribuan buruh pabrik Adidas di Indonesia tidak jelas rimbanya. Seandainya Messi tahu nasib buruh yang membuat sepatunya, saya bermimpi ia akan datang dengan 10 pasang sepatu dan mengajaknya mereka bermain bersama.

raymond, http://unite-indonesia.blogspot.com/

Acuan tulisan: Clean Clothes Campaign, Workers Rights Consortium
Foto: Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)
lanjut baca..

Jabulani dan tangan-tangan mungil buruh anak


Jabulani, tentu nama ini tidak asing di telinga anda. Ya, dia adalah nama bola yang ditendang ke sana-ke mari di ajang Piala Dunia 2010. Kadang bola ini licin untuk ditangkap oleh penjaga gawang, membawa malapetaka bila masuk ke gawang. Bola ini dipuja-puji karena mudah untuk membuahkan gol. Sialnya, tidak sedikit pula yang menjadikannya sebagai kambing hitam atas kekalahan sebuah kesebelasan.

Itu Jabulani ketika sudah lahir di lapangan hijau, di Afrika Selatan. Namun adakah yang tahu ketika Jabulani masih berada dalam kandungan di Cina, India dan Taiwan?

Beberapa hari sebelum Piala Dunia 2010 digelar, sepucuk surat mampir ke tangan Sepp Blatter. Pengirimnya adalah serikat buruh terbesar di dunia, International Trade Union Confederation (ITUC). Isinya memperlihatkan fakta adanya pelanggaran hak asasi manusia yang masih terus berlangsung dalam industri bola sepak. Surat itu sekaligus menagih komitmen FIFA, sebagai organisasi tertinggi sepakbola internasional, menghapuskan pelanggaran hak buruh dalam dunia sepakbola. Tentu saja ini terkait erat dengan pemantauan FIFA terhadap produsen bola sepak langganan Piala Dunia, Adidas.

Nasib buruh anak, si pembuat bola sepak

Dalam beberapa studi mengenai rantai produksi bola sepak, ditemukan kasus adanya buruh anak yang dipekerjakan dalam proses tersebut. Rantai ini bermula dari pemegang merk terkenal yang memberikan order ke pabrik besar di sebuah negara. Dari pabrik besar ini kemudian menyerahkan pengerjaannya ke pabrik-pabrik kecil. Dari pabrik kecil, pesanan mengalir ke calo di desa-desa. Tangan si calo inilah yang kemudian menurunkan order ke tingkat rumah tangga. Di dalam rumah, bola-bola bundar dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga, termasuk anak mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Mereka tersebar di beberapa negara di Asia seperti India, Pakistan, Cina dan Thailand.

Proses pembuatan bola sebagian besar terdapat di desa-desa yang banyak terdapat industri rumah tangganya. Pesanan mereka terima dari tangan seoarang calo. Yang namanya calo sudah pasti tidak mau merugi, untung terus yang ada dalam otaknya. Akibatnya upah yang didapatkan para buruh anak ini jauh dari standar upah yang telah ditetapkan karena sebagian besar sudah masuk ke kantong si calo sebagai perantara.

Dilihat dari status kerjanya, para bocah bukanlah buruh yang berstatus tetap. Mereka adalah buruh borongan. Buruh dengan model seperti ini tidak mendapatkan perlindungan hukum bila hak mereka dilanggar. Ketiadaan perjanjian hitam di atas putih adalah penyebab dimana si calo tidak bisa dituntut bila suatu ketika ia ingkar janji dalam memenuhi hak si buruh anak. Tentu saja para makelar ini tidak akan membuat surat kontrak kerja karena dia tahu bahwa mempekerjakan buruh anak adalah pelanggaran terhadap undang-undang perburuhan.

Warisan adalah sesuatu yang bersifat turun-temurun atau setidaknya terkait dengan yang namanya keluarga. Begitu pula halnya dengan tangan-tangan mungil para pembuat bola. Seorang anak pada awalnya tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menjadi seorang empu dalam membuat bola. Namun apa mau dikata, mereka harus melakukan rutinitas itu setiap harinya, selama bertahun-tahun. Maka tidaklah heran bila ada buruh anak yang telah menggeluti bola selama 9 tahun, tentunya bukan sebagai seorang pemain sepakbola.

Seorang kakak yang telah mahir membuat bola kemudian mewariskan ilmunya kepada sang adik. Selanjutnya bila dalam satu keluarga terdiri dari beberapa anak, maka terciptalah sebuah dinasti pembuat bola di desa tersebut. Lahirnya dinasti ini tidak terlepas dari sang ibu sebagai tangan pertama yang menerima pesanan dari calo bola. Dari tangan ibulah sang kakak menerima ilmu bola untuk ditularkan kepada adik-adiknya.

Karena setiap hari bekerja, maka banyak anak-anak yang putus sekolah akibat tidak ada waktu untuk belajar sehingga tidak naik kelas. Selain itu ada pula yang karena kondisi tekanan ekonomi, mereka harus rela meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja sebagai pembuat bola. Kesadaran untuk bersekolah memang sangat kurang di tengah himpitan kemiskinan. Sampai-sampai seorang gurupun mempekerjakan para muridnya untuk membuat bola di sekolah informal di desanya.

Jam kerja yang dilakoni para bocah pembuat bola sangat panjang. Hari-harinya dilalui dengan bekerja di rumah selama 6-7 jam, bahkan lebih dari itu. Adalah hal yang menyenangkan bila bisa bekerja di rumah. Maka ada istilah Small Office Home Office (SOHO) yang menjadi idaman orang karena fleksibilitasnya. Namun bagi para buruh anak pembuat bola, kondisinya sangat jauh berbeda dari konsep bekerja rumahan versi modern.

Rutinitas yang harus dilalui selama berjam-jam mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan buruh anak. Mereka merasakan sakit pada jari-jari karena melakukan gerak yang sama berulang-ulang. Mata menjadi sakit dan kabur penglihatannya akibat bekerja dengan cahaya yang kurang. Seringkali didapati anak yang tubuhnya bongkok karena duduk terlalu lama tanpa diselingi peregangan. Sakit ini menjadi warisan yang lain karena harus mereka tanggung seumur hidup karena ketidaksanggupan berobat akibat biayanya yang mahal.

Jabulani?

Apa yang sesungguhnya terjadi pada Jabulani masih diliputi misteri. Tapi satu hal yang pasti, si pemegang merk masih mempunyai utang sosial bagi anak-anak yang dipekerjakan dalam rantai produksi bola-bola mereka sebelumnya.

Jabulani seharusnya mendatangkan keceriaan bagi tangan-tangan mungil yang menyentuhnya, bukan kebinasaan. Semoga Jebulane selalu terpancar pada sinar mata anak-anak di manapun mereka berada, di Indonesia, Asia dan seluruh dunia!

raymond, http://unite-indonesia.blogspot.com/

Acuan tulisan: International Labour Rights Forum, Global March, Bachpan Bachao Andolan.
Karikatur: Vikram
Foto: Jabulaniball.com
lanjut baca..

Blikkiesdorp: Piala Dunia Mengorbankan Rakyat Afrika Selatan


Perhelatan Piala Dunia kembali menghipnotis mata miliaran penduduk dunia. Siaran langsungnya menjadi sebuah ritual yang wajib ditonton. Seakan telah menjelma menjadi sebuah “agama” baru bagi penduduk bumi. Di sisi lain, orang-orang menjadi kecanduan untuk kurun waktu sebulan ini. Menjelang petang sudah bersiap-siap untuk menyaksikan para bintang kesayangannya berlaga di layar kaca. Banyak pula yang menggelontorkan pundi-pundinya untuk memasang taruhan pada tiap pertandingan. Begitulah keseharian yang dapat kita temui di bulan Juni-Juli ini.

Awal terpilihnya Afrika Selatan bermula di tahun 1996 dengan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Usaha ini kemudian berbuah kekecewaan karena kalah 1 suara dari Jerman yang ditukangi oleh Franz Beckenbauer. Usaha kedua kemudian dilakukan. Harapan terbuka lebar dengan adanya aturan baru bahwa Piala Dunia berikutnya akan digilir untuk singgah di setiap benua, dan itu berarti benua Afrika! Melalui lobi-lobi yang menghadirkan Nelson Mandela akhirnya ajang empat tahunan berada dalam genggaman. Tahun 2010 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Afsel karena menjadi tuan rumah pertandingan akbar yang menjadi impian setiap negara, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah catatan, Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 karena ketiadaan dukungan dan jaminan dari pemerintahnya sendiri.

Untuk gelaran Piala Dunia kali ini, Afsel menghabiskan dana yang tidak sedikit. Kurang lebih 12 miliar dolar dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur yang megah. Tengok saja Stadion Green Point di Cape Town yang sanggup menampung 70.000 penonton, dibangun dengan biaya 600 juta dolar.

Pembangunan mega infrastruktur di negara seperti Afsel ini tidak hanya menghamburkan uang, namun juga menuai masalah sosial. Daerah-daerah kumuh menjadi sasaran penggusuran guna menampilkan wajah Afsel yang bersih dan layak sebagai tuan rumah Piala Dunia. Warga miskin yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di kawasan Athlone, Symphony Way, Salt River, Woodstock tergusur atas nama Piala Dunia.


Kamp Konsentrasi Bernama Blikkiesdorp

Korban-korban penggusuran itu ditempatkan di sebuah area relokasi sementara yang bernama Blikkiesdorp. Terletak di kota kecil Delft, pinggiran Cape Town, Blikkiesdorp menjadi tempat tinggalnya kaum terbuang dari tanah tempat mereka berpijak. Dibangun pada tahun 2008 dan direncanakan untuk dihuni sebanyak 650 korban penggusuran di tengah kota. Namun saat ini penghuninya membeludak menjadi 15.000 orang!

Sebagai ganti kompleks olahraga nan megah itu, para warganya digusur oleh pemda setempat ke Blikkiesdorp. Di lokasi yang jauh dari tempat biasa mereka berjualan, hanya tersedia 3.000 rumah untuk dihuni. Tapi malangnya, rumah ini tidak seperti bayangan kita tentang kelayakan hunian. Semua dinding bangunannya yang dinomori dengan cat semprot, terbuat dari seng dan kayu sebagai rangka tempat melekatnya.

Maka tidak heran Blikkiesdorp juga dijuluki sebagai Kota Kaleng (Tin Can City). Sudah bisa dibayangkan orang yang berada di dalam rumah kaleng akan merasa seperti terpanggang di siang hari yang bersuhu 40 derajat celsius panasnya. Dan dingin akan menyerang, menusuk tulang di saat malam hari menjelang. Belum lagi masuknya pasir yang dibawa angin melalui sela-sela sambungan seng di daerah yang tandus.

Para korban penggusuran ini hanya menempati sebuah rumah yang berukuran 6 x 3 meter persegi. Untuk bertahan hidup dari cuaca yang ekstrim tadi, mereka “mempercantik” kembali ruangan dengan memasang kertas dinding atau kardus agar sedikit lebih nyaman. Di beberapa rumah tangga, luas kamar 18 meter persegi itu harus dibagi sampai 7 orang dengan berhimpitan tinggal di dalamnya. Buruknya sanitasi, fasilitas kesehatan dan kelaparan makin melengkapi kesengsaraan para korban penggusuran di Blikkiesdorp.

Tingkat kekerasan di sini juga sangat tinggi seiring dengan kerasnya hidup di Kota Kaleng. Aparat keamanan seringkali menangkapi warga yang masih ada di luar rumah lepas jam malam. Afsel memaksa warga miskinnya untuk tidak kelihatan oleh para turis yang berkunjung untuk Piala Dunia.

Blikkiesdorp di Indonesia?

Berkaca dari apa yang terjadi di Blikkiesdorp, terlihat jelas tidak berpihaknya kebijakan negara terhadap warganya, terlebih bagi mereka yang tidak lagi dianggap “orang.” Ini tidak hanya terjadi di Afrika Selatan. Indonesia adalah salah satu dari negara yang mengambil kebijakan jalan pintas dalam melihat soal kependudukan. Penggusuran bukan lagi merupakan hal baru di negeri ini. Mulai dari menggusur dengan menerjunkan keberingasan Satpol PP sampai dengan menggunakan lumpur seperti yang dialami warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Gusur-menggusur selalu dikaitkan dengan kepentingan bisnis dan melibatkan korporasi. Tidak heran bila sebuah pemukiman yang telah digusur kemudian berubah wajah menjadi pusat pertokoan (mal). Padahal sebelumnya dinyatakan oleh pemerintah setempat bahwa lokasi tersebut akan dijadikan ruang hijau atau akan dibangun fasilitas sosial. Dukungan dan jaminan pemerintah akan kehidupan rakyatnya sungguh tidak nyata.

Saya tidak bisa membayangkan bila akhirnya Indonesia menjadi tuan rumah di saat kemiskinan masih menyelimuti rakyatnya. Pertanyaan yang segera muncul adalah, “ Di daerah mana lagi rakyat akan digusur?” Dan di mana mereka akan tinggal, apakah akan juga dibangun Blikkiesdorp-nya Indonesia?

Tayangan langsung Piala Dunia malam ini akan segera dimulai. Namun bayangan ketidakadilan yang menimpa orang buangan Blikkiesdorp terus membayang dalam pikiran. Apakah saya mampu menepis pikiran itu untuk dapat menikmati tontonan yang bertajuk, “The Greatest Match?” Semoga ini tidak terjadi pada diri anda. Karena saya memimpikan suatu saat politik negara ini dan juga negara lainnya di dunia dapat menghadirkan The Greateast Policy bagi rakyatnya. Tentu urusan yang satu ini tergantung dari kemauan politik rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk melakukan perubahan.

Acuan tulisan: The Guardian
Foto: Gareth Kingdon
lanjut baca..