Rumah Ibadah yang Tidak Sekedar


Adalah sebuah rumah ibadah yang dibangun oleh umatnya. Dia tidak sekedar tempat ibadah untuk mengungkap syukur kepada Tuhannya. Bukan pula sekedar melantunkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Namun juga direkayasa sesadar-sadarnya sebagai teras pertemuan antar umat yang biasa berdatangan pada masa ibadah.

Menjadi sebuah kebiasaan di antara mereka untuk meluangkan waktu bersama setelah beribadah. Para umat bisa saling bertukar sapa dan menanyakan kabar. Mereka menjadi tahu bila ada orang baru yang pertama kali datang ke tempat ini. Sudah barang tentu kedatangan seorang warga mendapat sambutan hangat seperti menyambut lahirnya seorang anggota keluarga baru.

Mereka jadi saling tahu bila ada yang sedang sakit atau bila ada yang sedang berduka. Dari kabar duka ini, mereka bisa menawarkan bantuan apa yang sekiranya dapat meringankan. Karena seperti sebuah ungkapan, ”Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Rasa kebersamaan yang terjalin akan memberi semangat baru bagi yang sedang dirundung duka. Semangat ini yang kemudian akan mengangkatnya dari sebuah kemuraman untuk kembali hidup, melangkahi jalur masa di depannya.

Amat disayangkan bila ada yang tidak bisa menyempatkan diri untuk datang ke rumah pertemuan ini, karena pastilah ada kabar yang terlewat tentang tetangganya yang biasa beribadah. Berita suka cita mungkin akan terlewat begitu saja, atau mungkin bukan menjadi orang pertama yang tahu. Kabar tentang sebuah kelahiran adalah sesuatu yang istimewa karena ada sebuah harapan baru di dalamnya. Sebuah harapan yang harus dirawat agar bertumbuh baik bagi orang-orang di sekelilingnya.

Lambat laun, rumah ibadah ini melampaui apa yang dibayangkan banyak orang. Ia tidak lagi sekedar tempat untuk beribadah, tapi juga menampung para pengungsi ketika terjadi bencana alam. Para pengungsi ini berasal dari berbagai latar belakang aliran keyakinan dan kepercayaan. Rumah ini tidak mempedulikan beragam latar para pencari tempat berteduh dari panas dan hujan ini. Karena rumah ini sangat mencintai kehidupan. Menyelamatkan dan merawat kehidupan menjadi tugas mulia dari rumah buatan tangan manusia ini.

Dalam kondisi yang serba darurat ini, semua orang berbicara tentang kehidupan. Karena sebagaimana halnya manusia yang menjadi mahluk sosial, dia membutuhkan uluran tangan orang lain. Solidaritas yang terbangun antar beragamnya keyakinan itulah yang membuat masyarakat itu tetap ada. Memasak di dapur umum bagi makan siang mereka yang beragam kepercayaan, bergotong-royong membangun rumah para pengungsi, menjadi sebuah hal yang biasa. Hingga akhirnya semua dapat kembali ke rumah masing-masing dan menjalani hari-harinya seperti sediakala.

Rumah ibadah ini adalah rumah yang biasa-biasa saja. Tidak bersepuh emas, temboknya terbuat dari bambu agar tahan goncangan gempa. Lantainya terbuat dari kayu, berupa rumah panggung. Atapnya dilapis oleh lembaran daun kering pohon kelapa. Dia terbentuk dari alam yang ada di sekitarnya. Tidak perlu teknologi yang super canggih dan sarat bahan impor yang mahal. Yang diperlukan hanyalah kearifan para pembuatnya dan kesadaran akan keberadaannya untuk menyatu dengan tanah bumi ini.

Rumah panggung ini memilih untuk berpihak pada kehidupan. Kehidupan yang dijalani oleh para penganutnya. Kehidupan yang juga dijalani oleh mereka yang berlatar ragam keyakinan dan kepercayaan. Karena demikianlah adanya kehidupan, berjalan bersama dengan keberagaman yang dikandungnya. (raymond, unite-indonesia.blogspot.com)

Foto: lawangarepstudio.com

lanjut baca..

TKI asal Lumajang Meninggal di Rumah Sakit Koja

Slamet adalah TKI asal Lumajang. Laki-laki yang berusia 48 tahun ini dideportasi dari Malaysia bersama dengan 800 buruh migran lainnya pada tanggal 2 September 2010. Dari Malaysia dia dibawa ke Tanjung Pinang. Dari sana kemudian dilanjutkan dengan kapal penumpang KM Ciremai untuk tujuan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Rencananya ia akan diturunkan di Surabaya. Namun karena kondisi tubuhnya yang sakit, akhirnya ia diturunkan di Jakarta bersama 311 buruh migran.

Sesampai di Pelabuhan Tanjung Priok, ia diturunkan dengan menggunakan tandu dari kapal menuju ruang kedatangan TKI deportasi. Melihat kondisi tubuhnya yang sangat lemah dan tidak bisa berjalan, petugas KKP Tanjung Priok langsung merujuknya ke RSUD Koja, Jakarta Utara dengan didampingi Lily Pujiati dari Peduli Buruh Migran. Peduli Buruh Migran adalah sebuah LSM yang menaruh perhatian pada persoalan kesehatan TKI dan juga bagian dari Satgas Nasional Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PTKIB).

Di rumah sakit, Slamet langsung mendapatkan perawatan di ruang IGD. Dari pengukuran tensi darah, didapati bahwa tekanan darahnya sangat tinggi. Tak berapa lama setelah mendapatkan penanganan medis dari para dokter dan perawat, Slamet akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Menurut keterangan dokter, sakit stroke yang dideritanya menjadi penyebab kematian.

Persoalan baru kemudian muncul. Buruh migran ini ternyata tidak meninggalkan surat keterangan identitas apapun. Seperti diketahui bersama, TKI yang dideportasi tidak membawa data diri apapun karena semua dokumen dirampas oleh majikan selama bekerja di Malaysia.

Lily kemudian berusaha melacak keberadaan keluarganya. Karena selama perjalanan dari pelabuhan hingga rumah sakit, tidak ada informasi apapun yang bisa diperoleh karena korban deportasi ini sudah tidak bisa berkata sepatah katapun. Setelah menanyakan info dari kawan-kawan seperjalanannya sewaktu di atas kapal, akhirnya diperoleh keterangan singkat, Lumajang dan Klanting dekat mesjid.

Pencarian alamat ini kemudian berlanjut. Dengan bermodalkan keterangan singkat tadi, Lily lalu menghubungi A'ak Abdullah Al Kudus dari Laskar Hijau, Lumajang, agar membantu mencarikan alamat keluarganya. Laskar Hijau adalah organisasi yang bergerak dalam konservasi alam di daerah Lumajang melalui penanaman pohon di hutan-hutan gundul dan selain itu juga peduli pada persoalan buruh migran.

Akhirnya kabar kepastian tentang keluarganya ditemukan juga. Kira-kira pukul tujuh malam, A'ak mengabarkan kabar baik bahwa keluarga buruh migran telah ditemukan. Dalam komunikasinya dengan pihak keluarga, A'ak menerangkan bahwa biaya perawatan dan pemulangan jenasah sudah ditanggung Kemenkes dan Kemensos. Sehingga pihak keluarga tidak perlu lagi memikirkan biaya-biaya tersebut.

Pagi ini Lily akan mengurus biaya pemulangan ke Kemensos. Dan bila segala sesuatunya lancar, dengan didampingi pihak Peduli Buruh Migran, hari ini rencananya jenasah TKI akan dipulangkan ke alamat adik Slamet yang bernama, Rohmah dan Jumali yang beralamat di Jalan Wilis, Desa Klanting Kidul, RT 02/RW 02, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur juga sudah berkomitmen untuk menjemput jenasah di Bandara Juanda menuju rumah keluarga almarhum.

Kasus yang terjadi kali ini kembali menunjukkan bahwa pemerintah masih tidak serius mengurusi para pahlawan devisa, terutama masalah kesehatannya. Seharusnya Satgas PTKIB di Tanjung Pinang dapat memantau kondisi Slamet yang sedang sakit dan kemudian merawatnya terlebih dahulu sebelum dipulangkan ke daerah asal.

Menurut Lily, kondisi buruh migran dapat menjadi lebih baik bila pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 sebagai landasan hukum bagi peraturan nasional seperti UU 39/2004 dan RUU PRT untuk memberikan perlindungan secara konsisten bagi buruh migran. Dan yang terpenting adalah lapangan kerja yang harus disediakan negara bagi rakyatnya, ketimbang mengekspor TKI untuk diambil devisanya.

(ray, peduliburuhmigran.blogspot.com)

lanjut baca..