Surat Pembunuh Munir



Siapa saya sesungguhnya tidak usahlah orang banyak tahu. Nama saya sudah sering kali disebut-sebut di surat kabar, wajah saya kerap kali muncul di televisi saat persidangan kasus ini. Saya pun menjadi tenar karena wajah saya lagi-lagi muncul di film dokumenter tentang pembunuhan aktivis di udara. Saya menjadi tidak terlupakan karena nama saya jelas tertulis di laporan Tim Pencari Fakta.

Surat ini saya tulis setelah saya membaca surat pengakuan dari seorang pembantai, serupa seperti saya, pada peristiwa Rawagede yang terjadi dua tahun setelah republik ini merdeka. Seperti halnya saya, enam tahun setelah reformasi lahir di negeri ini, saya pun membunuh seseorang, aktivis HAM yang mengganggu stabilitas bisnis dan politik yang saya lakoni.

Saya tidak bekerja sendirian. Saya bekerja atas restu dan permufakatan jahat atasan saya yang namanya jarang disebut tapi semua orang juga sudah tahu. Seorang lagi bekerja untuk operasi ini, tugasnya sebagai eksekutor. Orang ini saya perintahkan untuk melakukan pendekatan dengan target. Hubungan telepon pun kerap dilakukan hingga hari keberangkatannya. Belakangan, komunikasi telepon ini terkuak dan merembet pada terbongkarnya rekaman komunikasi saya dengan eksekutor.

Di udara, eksekutor menawarkan kursi nyaman di kelas bisnis. Dia jugalah yang memasukkan arsenik ke dalam jus jeruk dan mi goreng yang dihidangkan. Tidak berapa lama setelah lepas landas dari negara transit, racun mulai bekerja pada tubuh. Hingga akhirnya udara memanggil jiwanya pulang di atas langit Hungaria.

Ini bukanlah yang pertama bagi saya. Kurun waktu 1997-1998, saya juga terlibat permufakatan jahat dalam penculikan 13 orang aktivis. Penghilangan paksa itu turut menyeret empat kolega saya, yang salah satunya kita semua orang tahu saat ini sudah menjadi apa. Sandiwara disiapkan melalui pengadilan pura-pura dengan memvonis 11 nama eksekutor lapangan tanpa bisa menyentuh saya dan kolega.

Sudah dua kali saya lolos dari vonis. Namun raga ini seperti limbung digerogoti keraguan. Kecemasan mulai menghantui seiring usia yang semakin senja. Apakah saya akan lolos kembali untuk yang berikutnya? Karena saya sadar, pengaruh saya semakin menurun di kalangan elit.

Pejabat baru di institusi tempat dulu saya berada, melalui surat kawat yang bocor, menyatakan niat untuk membongkar pelanggaran HAM masa lalu. Tampaknya angin reformasi memaksa mereka mengikuti hembusan perubahan. Nilai-nilai HAM mulai diadopsi oleh lembaga-lembaga represi negara.

Negara tempat saya dulu mengabdikan diri, sepertinya akan mencekik saya. Membaca berita beberapa hari belakangan, membuat saya was-was. Vonis yang datang dari Negeri Kincir Angin, telah membawa angin keadilan bagi korban Pembantaian Rawagede. Angin itu seperti menggumpal dan akan mendatangkan badai ke negeri ini untuk menagih utang negara atas kasus kejahatan HAM berat di masa lalu.

Entah mengapa, tahun ke-7 ini menjadi beban berat bagi saya. Mimpi buruk selalu menyergap di malam-malam saya tertidur. Saya pun mulai menjauhi jus jeruk dan mi goreng yang selama ini menjadi santapan favorit saya karena takut ada arsenik di dalamnya. Lama-lama saya jadi gila karena curiga dan cemas sudah bercampur dalam darah saya. Atau inikah jalan keluar bagi saya, pura-pura gila, agar lolos kembali dari jeratan atas tuduhan pelaku kejahatan HAM masa lalu?

Adakah pilihan lain yang tak pernah terbersit dalam pikiran saya? Pilihan untuk mengakui kejahatan ini agar keluarga saya sepanjang hidupnya tidak diwarisi kejahatan HAM masa lalu?

(surat imajinasi penulis, demi pengungkapan kebenaran dan keadilan)

ray mundo

lanjut baca..

Berlari Meniti Cincin Api Gunung Lemongan


Hobi baru saya adalah lari, tapi saya tidak ingin hanya sekedar berlari.

Bulan Juni yang lalu, saya mendapat kesempatan melancong ke Ponorogo, Jawa Timur. Bicara tentang Jawa Timur, tentu saja saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lain untuk memperpanjang langkah perjalanan ke arah timur, Klakah.

Klakah menjadi sebuah daya tarik tersendiri karena panorama alamnya yang memukau, sekaligus ironi yang menyertainya. Terletak di Kabupaten Lumajang, Klakah berada diketinggian 300 mdpl, membuat daerah ini beriklim sejuk bagi ukuran saya yang terbiasa terbakar panas kota Jakarta.

Di sana ada beberapa danau vulkanik, atau rakyat setempat menyebutnya sebagai ranu. Salah satunya adalah Ranu Lemongan. Ranu yang diliputi keheningan ini menyimpan ironinya sendiri.

Menurut Mbah Citro, juru kunci Gunung Lemongan, sejak tahun 2000 air yang mendiami ranu ini semakin berkurang debit airnya. Apa sebab? Tidak lain karena kondisi Gunung Lemongan, beberapa kilometer jauhnya, sedang krisis akibat penggundulan hutan.

Daerah resapan air menjadi hilang, begitu pula dengan tempat penampungannya, ranu-ranu yang berada di sekitar gunung menjadi surut menopang kebutuhan rakyat sekitar akan air. Keadaan ini tentu saja mempengaruhi denyut kehidupan rakyat yang menggantungkan diri pada alam.

Beruntung manusia mempunyai hati dan pikiran untuk beradaptasi dengan alamnya. Inisiatif pun kemudian muncul di tahun 2005. Dengan bergotong-royong, rakyat Klakah mulai melakukan konservasi dengan penanaman pohon. Lokasi yang bermula dari sekitar ranu, kemudian berpindah ke Gunung Lemongan.

Lambat laun, upaya pelestarian alam ini semakin teguh dengan lahirnya organisasi Laskar Hijau pada tahun 2008. Lembaga swadaya yang dimotori oleh A'ak Abdullah Al-Kudus ini, mengumpulkan bibit pohon dari dalam tong sampah. Dari situ mereka dapatkan biji-biji berbagai macam jenis buah untuk disiapkan menjadi bibit pohon. Para siswa Sekolah Dasar di Probolinggo dan Lumajang turut andil dalam aksi konservasi ini.

Tidak sekedar berlari

Kembali ke cerita saya soal lari, kesempatan kali ketiga saya ke Klakah memecah kebuntuan otak saya akan ide lari gunung ke Gunung Lemongan. Ide gila ini saya dapatkan dari Aki Niaki, penggila lari gunung dari bumi parahyangan yang bermarkas di komunitas lari Indo Runners. Entah kebetulan atau tidak, di bulan yang sama ada beberapa pelari ekstrim dari mancanegara akan melawat Gunung Lemongan sebagai salah satu gunung yang akan mereka jajaki.

Berselang empat hari setelah para pelari ekstrim mencicipi lintasan lari di Gunung Lemongan, giliran saya mencobanya bersama Surya dari Laskar Hijau. Di awalnya, rute dapat dilalui dengan berlari. Namun itu tidak berlangsung lama karena tanjakan terjal segera menghadang dan memaksa kaki ini untuk berjalan. Itu terus berlangsung sekitar dua jam hingga sampai pada puncaknya.

Pemandangan di atas puncak sangat menghanyutkan dengan tampaknya Gunung Semeru di kejauhan dan buaian hembusan angin bercampur kabut yang mengajak kita untuk berlama-lama di puncak. Saat perjalanan turun kembali, saya menemui tanaman khas Gunung Lemongan, kantung semar yang berwarna hijau. Pohon besar, hingga ilalang setinggi orang dewasa disertai pasir dan batuan lepas gunung vulkanik turut menemani sepanjang perjalanan menuruni gunung.

Sepulang dari Klakah, saya lalu mengajak A'ak untuk membuat acara lari gunung sambil menanam pohon. Hal ini terinspirasi dari penanaman pohon oleh Dachhiri Dawa Sherpa, pelari ekstrim dunia saat berlari di Gunung Lemongan tempo hari. Dan tentu saja ide konservasi datang dari kawan-kawan Laskar Hijau yang telah merawat alam selama beberapa tahun belakangan ini.

Setelah bertukar pikiran sana-sini, akhirnya ketetapan pun diputuskan: “Lemongan Conservation Run,” 13 November 2011, swadaya, menanam pohon dan menggalang dana untuk konservasi Gunung Lemongan. Sebuah blog pun diterbitkan di dunia maya: lemonganconservationrun.blogspot.com

Bulan November dipilih karena diperkirakan akan turun hujan, walau dua tahun belakangan ini hujan belum juga menurunkan butir-butir airnya ke bumi. Katanya karena global warming, pemanasan iklim, tapi menurut saya tidak. Iklim yang sulit diterka membawa pesan kepada rakyat bumi untuk bersahabat dengan alam, bukan dengan mengkambinghitamkan alam saat datangnya bencana.

Kini saatnya kita melakukan konservasi dengan berlari, berjalan kaki, bersepeda, dengan cara apapun agar bumi ini lestari!

Salam lari dan konservasi :)

Ray Mundo

Foto: Ranu Lemongan (Laskar Hijau)

lanjut baca..