Blikkiesdorp: Piala Dunia Mengorbankan Rakyat Afrika Selatan


Perhelatan Piala Dunia kembali menghipnotis mata miliaran penduduk dunia. Siaran langsungnya menjadi sebuah ritual yang wajib ditonton. Seakan telah menjelma menjadi sebuah “agama” baru bagi penduduk bumi. Di sisi lain, orang-orang menjadi kecanduan untuk kurun waktu sebulan ini. Menjelang petang sudah bersiap-siap untuk menyaksikan para bintang kesayangannya berlaga di layar kaca. Banyak pula yang menggelontorkan pundi-pundinya untuk memasang taruhan pada tiap pertandingan. Begitulah keseharian yang dapat kita temui di bulan Juni-Juli ini.

Awal terpilihnya Afrika Selatan bermula di tahun 1996 dengan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Usaha ini kemudian berbuah kekecewaan karena kalah 1 suara dari Jerman yang ditukangi oleh Franz Beckenbauer. Usaha kedua kemudian dilakukan. Harapan terbuka lebar dengan adanya aturan baru bahwa Piala Dunia berikutnya akan digilir untuk singgah di setiap benua, dan itu berarti benua Afrika! Melalui lobi-lobi yang menghadirkan Nelson Mandela akhirnya ajang empat tahunan berada dalam genggaman. Tahun 2010 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Afsel karena menjadi tuan rumah pertandingan akbar yang menjadi impian setiap negara, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah catatan, Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 karena ketiadaan dukungan dan jaminan dari pemerintahnya sendiri.

Untuk gelaran Piala Dunia kali ini, Afsel menghabiskan dana yang tidak sedikit. Kurang lebih 12 miliar dolar dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur yang megah. Tengok saja Stadion Green Point di Cape Town yang sanggup menampung 70.000 penonton, dibangun dengan biaya 600 juta dolar.

Pembangunan mega infrastruktur di negara seperti Afsel ini tidak hanya menghamburkan uang, namun juga menuai masalah sosial. Daerah-daerah kumuh menjadi sasaran penggusuran guna menampilkan wajah Afsel yang bersih dan layak sebagai tuan rumah Piala Dunia. Warga miskin yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di kawasan Athlone, Symphony Way, Salt River, Woodstock tergusur atas nama Piala Dunia.


Kamp Konsentrasi Bernama Blikkiesdorp

Korban-korban penggusuran itu ditempatkan di sebuah area relokasi sementara yang bernama Blikkiesdorp. Terletak di kota kecil Delft, pinggiran Cape Town, Blikkiesdorp menjadi tempat tinggalnya kaum terbuang dari tanah tempat mereka berpijak. Dibangun pada tahun 2008 dan direncanakan untuk dihuni sebanyak 650 korban penggusuran di tengah kota. Namun saat ini penghuninya membeludak menjadi 15.000 orang!

Sebagai ganti kompleks olahraga nan megah itu, para warganya digusur oleh pemda setempat ke Blikkiesdorp. Di lokasi yang jauh dari tempat biasa mereka berjualan, hanya tersedia 3.000 rumah untuk dihuni. Tapi malangnya, rumah ini tidak seperti bayangan kita tentang kelayakan hunian. Semua dinding bangunannya yang dinomori dengan cat semprot, terbuat dari seng dan kayu sebagai rangka tempat melekatnya.

Maka tidak heran Blikkiesdorp juga dijuluki sebagai Kota Kaleng (Tin Can City). Sudah bisa dibayangkan orang yang berada di dalam rumah kaleng akan merasa seperti terpanggang di siang hari yang bersuhu 40 derajat celsius panasnya. Dan dingin akan menyerang, menusuk tulang di saat malam hari menjelang. Belum lagi masuknya pasir yang dibawa angin melalui sela-sela sambungan seng di daerah yang tandus.

Para korban penggusuran ini hanya menempati sebuah rumah yang berukuran 6 x 3 meter persegi. Untuk bertahan hidup dari cuaca yang ekstrim tadi, mereka “mempercantik” kembali ruangan dengan memasang kertas dinding atau kardus agar sedikit lebih nyaman. Di beberapa rumah tangga, luas kamar 18 meter persegi itu harus dibagi sampai 7 orang dengan berhimpitan tinggal di dalamnya. Buruknya sanitasi, fasilitas kesehatan dan kelaparan makin melengkapi kesengsaraan para korban penggusuran di Blikkiesdorp.

Tingkat kekerasan di sini juga sangat tinggi seiring dengan kerasnya hidup di Kota Kaleng. Aparat keamanan seringkali menangkapi warga yang masih ada di luar rumah lepas jam malam. Afsel memaksa warga miskinnya untuk tidak kelihatan oleh para turis yang berkunjung untuk Piala Dunia.

Blikkiesdorp di Indonesia?

Berkaca dari apa yang terjadi di Blikkiesdorp, terlihat jelas tidak berpihaknya kebijakan negara terhadap warganya, terlebih bagi mereka yang tidak lagi dianggap “orang.” Ini tidak hanya terjadi di Afrika Selatan. Indonesia adalah salah satu dari negara yang mengambil kebijakan jalan pintas dalam melihat soal kependudukan. Penggusuran bukan lagi merupakan hal baru di negeri ini. Mulai dari menggusur dengan menerjunkan keberingasan Satpol PP sampai dengan menggunakan lumpur seperti yang dialami warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Gusur-menggusur selalu dikaitkan dengan kepentingan bisnis dan melibatkan korporasi. Tidak heran bila sebuah pemukiman yang telah digusur kemudian berubah wajah menjadi pusat pertokoan (mal). Padahal sebelumnya dinyatakan oleh pemerintah setempat bahwa lokasi tersebut akan dijadikan ruang hijau atau akan dibangun fasilitas sosial. Dukungan dan jaminan pemerintah akan kehidupan rakyatnya sungguh tidak nyata.

Saya tidak bisa membayangkan bila akhirnya Indonesia menjadi tuan rumah di saat kemiskinan masih menyelimuti rakyatnya. Pertanyaan yang segera muncul adalah, “ Di daerah mana lagi rakyat akan digusur?” Dan di mana mereka akan tinggal, apakah akan juga dibangun Blikkiesdorp-nya Indonesia?

Tayangan langsung Piala Dunia malam ini akan segera dimulai. Namun bayangan ketidakadilan yang menimpa orang buangan Blikkiesdorp terus membayang dalam pikiran. Apakah saya mampu menepis pikiran itu untuk dapat menikmati tontonan yang bertajuk, “The Greatest Match?” Semoga ini tidak terjadi pada diri anda. Karena saya memimpikan suatu saat politik negara ini dan juga negara lainnya di dunia dapat menghadirkan The Greateast Policy bagi rakyatnya. Tentu urusan yang satu ini tergantung dari kemauan politik rakyatnya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk melakukan perubahan.

Acuan tulisan: The Guardian
Foto: Gareth Kingdon

No comments:

Post a Comment