Sepatu Lionel Messi di kaki buruh pabrik Adidas


Saya bermimpi bila sepatu Lionel Messi yang dipakai di Piala Dunia 2010, suatu saat dapat juga dipakai oleh buruh pabrik yang memproduksi sepatu-sepatu berlabel Adidas. Terbayang buruh-buruh menggocek bola dengan sepatu Adidas F50 adiZero pada saat pertandingan sepakbola antar kampung. Bila melihat harganya, tampaknya mimpi tinggallah mimpi. Harganya yang nyaris 2 juta rupiah sepasangnya, tak sebanding dengan upah buruh yang sebulannya hanya 1 juta rupiah. Jadi, bila dihitung-hitung untuk bisa memakai sepatu sang superstar, seorang buruh harus bekerja 2 bulan namanya.

Adidas adalah pemegang merek produk olahraga terkenal yang menyediakan kebutuhan para pemain bola ternama dunia. Mulai dari baju, celana, kaos kaki, sepatu, sarung tangan hingga bola sepak. Untuk urusan Piala Dunia, Adidas memasok bola sepaknya sejak tahun 1970 hingga sekarang secara berturut-turut.

Tak ketinggalan pula para pemain bola dimanjanya dengan sepatu super ringan yang saat ini dipakai Messi, sang pujaan pendukung tim Argentina. Adidas berhak melihat Messi memakai sepatu yang beratnya hanya 165 gram ini dengan nilai kontrak yang fantastis, 3 juta euro per tahunnya.

Sepak terjang Adidas di Indonesia

Adidas memang mendunia namanya, termasuk di Indonesia. Ketenarannya mencuat sejak tahun 1999, ketika salah satu pabriknya di Indonesia, PT. Panarub memecat para buruhnya terkait dengan aktivitas mereka di serikat buruh. Namun PHK sepihak ini tidak menciutkan nyali kaum buruh dan terbukti pada tahun berikutnya demonstrasi terus berlangsung, walau segala bentuk kekerasan harus dihadapi para pekerja.

Tahun 2001, kesewenangan pabrik sepatu ini berlanjut dengan dipenjarakannya seorang buruh perempuan yang bernama Ngadinah. Ia dituntut atas demonstrasi setahun sebelumnya ketika 8.000 buruh berunjuk rasa untuk menuntut hak-hak mereka yang dilanggar. Pihak perusahaan ternyata sudah lama mengincar dan mencari-cari kesalahan lalu menghukumnya untuk menimbulkan efek jera bagi buruh lainnya. Namun cara ini tidak memadamkan gejolak buruh-buruh Panarub dalam memperjuangkan haknya.

Apa yang dituntut kaum buruh pada saat itu adalah hak-hak mereka yang dirampas demi keuntungan perusahaan pada setiap sepatu yang diproduksi. Hak cuti haid yang semestinya diberikan dan diatur dalam undang-undang, dilanggar oleh perusahaan. Begitu pula dengan upah lembur yang tidak dibayar ketika buruh bekerja lebih lama dari waktu kerja normal atau ketika bekerja pada saat hari libur.

Mereka juga menuntut makanan tambahan yang lebih layak dari yang sebelumnya hanya roti, menjadi nasi. Tunjangan kesehatan keluarga juga masuk dalam daftar tuntutan karena mereka juga harus menanggung keluarganya ketika sakit dengan biaya berobat yang tidak bersahabat dengan kantong buruh.

Setelah kejadian demo besar-besaran dan adanya buruh yang dikriminalkan dengan dimasukkan ke dalam penjara, pihak Adidas kemudian bersuara dengan menyatakan keprihatinannya dengan kondisi tersebut. Apa yang terjadi dengan Ngadinah sama sekali di luar jangkauan mereka, walau harapannya dapat segera dibebaskan. Mereka juga berkomitmen untuk menghargai kebebasan buruh untuk berserikat dan melakukan perundingan secara kolektif. Namun fakta yang terjadi hanya sebatas di atas kertas dan terbukti bahwa Adidas tidak melakukan pemantauan ketat terhadap pabrik-pabrik pemasok sepatu mereka.

Apa yang diperjuangkan Ngadinah bukan untuk pribadinya, melainkan demi kepentingan kawan-kawan buruh di pabriknya serta buruh di Indonesia untuk mendapatkan haknya. Setelah sempat mendekam di dalam penjara selama dua minggu, akhirnya Ngadinah dibebaskan. Pemberangusan suara kaum buruh perempuan sudah pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada masa Orde Baru, rejim otoriter Soeharto bertanggung jawab atas kematian Marsinah pada tahun 1993, buruh perempuan yang berjuang untuk kenaikan upah buruh.

Tiga tahun berselang, kembali PT. Panarub mendapat sorotan atas apa yang terjadi di dalam pabriknya. Dari temuan investigasi, didapatkan bahwa buruh berada dalam kondisi kerja yang berdampak buruk bagi kesehatan mereka. Mereka secara terus-menerus terpapar oleh bau menyengat karet panas. Demikian juga halnya bagi keselamatan mereka karena mesin yang memproduksi lem panas telah mengakibatkan luka bakar pada tangan buruh yang mengerjakannya. Kembali Adidas datang terlambat menanggapi kasus ini dan menjadi bukti bahwa mereka absen atas pemantauan dan komitmen sebelumnya.

Tahun 2005 lagi-lagi pabrik penyuplai sepatu Adidas ini melakukan PHK atas 33 orang buruhnya. Mereka dipecat karena melakukan pemogokan untuk menuntut kenaikan bonus tahunan. Dari hasil temuan Komnas HAM atas kasus ini, dinyatakan bahwa pihak perusahaan tidak memiliki alasan kuat untuk memecat buruh. Untuk itu perusahaan harus mempekerjakan mereka kembali tanpa syarat.

Namun apa yang kemudian dilakukan Adidas justru mengancam keberlangsungan kerja para pekerjanya dengan pernyataan akan menghentikan pasokan dari pabrik tersebut. Setelah mendapatkan ketidakpastian selama setahun lebih, buruh-buruh yang dipecat dengan tidak adil itu hanya menerima sejumlah kecil uang pesangon yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Belum cukup dengan 33 buruh yang dipecat, Adidas melakukan PHK massal dengan membiarkan ditutupnya pabrik Spotec dan Dong Joe di tahun 2006 sebagai pemasok sepatu mereka. Adidas tutup mata dengan 10.500 buruh yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan ini. Setelah mendapatkan protes dan tekanan, baru 3 tahun kemudian Adidas kembali membuka pabrik baru yang bernama Ching Luh Indonesia (CLI). Di sana Adidas meneteskan komitmennya dengan mempekerjakan 1.450 buruh yang dahulunya adalah buruh Spotec.

Hingga malam ini, di saat Adidas memperoleh begitu banyak profit dengan melekatkan mereknya di kaki Messi, nasib ribuan buruh pabrik Adidas di Indonesia tidak jelas rimbanya. Seandainya Messi tahu nasib buruh yang membuat sepatunya, saya bermimpi ia akan datang dengan 10 pasang sepatu dan mengajaknya mereka bermain bersama.

raymond, http://unite-indonesia.blogspot.com/

Acuan tulisan: Clean Clothes Campaign, Workers Rights Consortium
Foto: Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI)

1 comment: